Rabu, 27 Juni 2007

Opini Sastra

Sastra dan Kejujuran Bangsa
Oleh : Agus Wibowo*

Benarkah karya sastra memiliki hubungan positif dengan kejujuran sebuah bangsa? jawabannya kembali pada sejauh mana bangsa tersebut mengapresiasikan karya sastra dalam kehidupan.
Sampai saat ini, pemahaman kita akan keluhuran sastra baru dalam taraf kognitif plus kesadaran naif. Ya, semua orang tau sastra bisa menempa ruhani, menjadi vitamin batin, mengalirkan semangat kehidupan, dan memberinya makna. Akan tetapi, aktualisasi keluhuran sastra dalam prilaku sehari-hari tidak pernah ada.
Buktinya, bangsa ini sangat bangga menjadi bangsa yang hidup dalam terali kemunafikan dan ketidakjujuran. Meminjam istilah beberapa sahabat sastrawan “republik sandiwara palsu”. Kejujuran yang merupakan elan vital sastra, begitu nyata dikebiri dengan konsensus-konsensus atau logika kritis-terbalik, hingga masyarakat memaafkan begitu saja tindakan tercela elit politik bangsa nyata di depan mata.
Sejatinya, praktik kenegaraan dan politik kita menjadi penanda runtuhnya budaya ketimuran yang mengusung budaya sungkan, malu dan ewuh-pekewuh berselingkuh dengan kebohongan. Lebih dari itu, ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.
Pada ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam lesu saat dihadapkan pada kasus korupsi Rohman Dauri yang melibatkan kasus suap mantan ketua MPR Amin Rais, serta menyeret sejumlah nama calon presiden pada pilpres 2004.
Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi, yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari.Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa (Limas Sutanto, 2002)
Menempa Kejujuran ?
Meskipun bangsa ini terkenal sebagai bangsa yang religius, namun dalam praktik kehidupan justru sangat jauh dengan nilai-nilai religiusitas. Hal ini ditengarai semakin maraknya degradasi moral, kasus KKN dan kejahatan di berbagai penjuru tanah air. Pada titik ini, apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan. Karya sastra yang mampu menuangkan pencerahan, membimbing masyarakat pada nilai-nilai kejujuran dan mendepak budaya KKN dari bumi pertiwi.
Lewat sastra bakal terbentuk pribadi keinsanan seseorang, terpupuk kehalusan adab dan budi individu serta masyarakat dan menjadikannya komunitas berperadaban. Menurut Friedrich Schiller, sastra menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Selain itu, seorang bakal diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).
Pendek kata, ketidakjujuran yang mewabah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa terkikis lewat sastra. Asalkan, diajarkan dengan pendekatan yang tepat; yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.
Institusi yang menjadi garda depan internalisasi nilai-nilai sastra bagi putra bangsa, tidak lain adalah lembaga pendidikan. Sayangnya, apresiasi siswa negeri ini terhadap karya sastra sangat rendah. Sebagai perbandingan, siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan rekan-rekannya di Indonesia hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama berjudul Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear dan Julius Caesar karya William Shakespeare misalnya, sementara mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui bahwa William Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima abad.
Pemicu rendahnya apresiasi sastra tersebut lantaran pengajaran sastra di kelas kurang menarik, karena strategi dan pendekatannya kurang tepat. Bahasa dan sastra masih diperlakukan sebagai pengetahuan (aspek kognitif), sehingga kurang melibatkan penghayatan batin (aspek afektif) peserta didik. Di lain pihak, para guru memiliki greget membuat pembelajaran bahasa dan sastra menjadi menarik.
Perlu Rekonstruksi Kurikulum
Pembenahan kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan disempurnakan lagi dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), belum menunjukkan kemajuan berarti bagi pengajaran sastra di sekolah. Sastra masih sebagai pelajaran yang asing bagi siswa. Alih-alih, untuk sekolah di kota saja demikian bisa dibanyangkan bagaimana keadaan sekolah di desa, kenal sastra-pun tidak.
Hadirnya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), diharapkan lebih menuntut siswa bersama guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Semestinya pemerintah tidak hanya merubah kurikulum saja, tetapi juga mengusahakan program penyediaan sumber pembelajaran sastra. Terutama penyediaan karya sastra berupa novel, cerpen, dan kumpulan puisi bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Selain itu, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak memuat nilai-nilai ajaran moral dan spiritualitas hidup untuk menjadi kajian siswa-siswanya. Dalam hal ini, harus selalu ada pekerjaan rumah berupa tugas membaca karya-karya sastra sebanyak-banyaknya bagi siswa untuk kemudian direpresentasikan di depan kelas.
Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah, sangat berpengaruh dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentunya juga akan lebih baik lagi.
Karya sastra yang memiliki nilai-nilai spiritualitas, estetika dan moral bakal membentuk karakter peserta didik dan menjadi transfer pendidikan yang penuh vitamin ruhani, penyejuh hati, penebar kebahagiaan dan penuntun masyarakat pada pencerahan peradaban. Dengan jalan ini, krisis kejujuran bangsa ini bisa segera terentaskan.[]
*) Esais Sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057.

Tidak ada komentar: