Sabtu, 23 Juni 2007

Opini Pendidikan Kalteng Pos: Rabu, 20 Juni 2007

Pentingnya Pendidikan yang " Demokratis" di Sekolah
Oleh: Eni Dewi Kurniawati
Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan cratia artinya pemerintahan. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat (Budianto,2003:38). Selanjutnya menurut Abraham Lincoln dalam Jumadi (2006:2) mengatakan: "Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat"( government of the people, by the people, for the people). Intinya adalah suatu tata pemerintahan dimana rakyat, baik secara langsung maupun tidak, berkuasa dan berdaulat penuh. Demokrasi Pendidikan adalah suatu kegiatan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi semua warga pendidikan mulai dari siswa hingga guru untuk berperan aktif dan bersedia belajar secara mandiri dan bersama-sama tanpa membedakan latar belakang serta ikut berpartisipasi dalam pembelajaran yang mengacu pada kurikulum. Dalam menjalankan demokrasi perlu proses belajar dan pembelajaran warga dari sebuah bangsa bagaimana menjamin kehidupan bersama dalam memenuhi dan menentukan masa depan bangsanya. Lembaga pendidikan sebagai "Kawah Candradimuka" nya para pemimpin bangsa ini ternyata belum mampu memberikan sumbangan yang optimal untuk terciptanya demokrasi yang diharapkan. Terbukti bahwa semua elit politik dan pemimpin bangsa ini dipastikan telah mengenyam pendidikan, tetapi pola sikap dan kebijakan mereka masih belum mencerminkan kepemimpinan yang demokratis. Dan kebijakan yang dibuat secara otoriter itu tidak jarang menimbulkan kontroversi dikalangan warga. Bahkan tidak sedikit yang berdampak pada timbulnya kekerasan antarwarga (Tim Madanika, 2006:1) Berdasarkan pernyataan di atas, tergambar bahwa demokrasi yang sudah disuarakan oleh para pendahulu kita bahkan apa yang sudah tercantum dalam UUD belum mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Potret realita yang ada di gedung DPR RI , pada saat bersidang sering ditemukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Begitukah caranya pemimpin negeri ini berdeokrasi? Apa jadinya bangsa ini jika pemimpin yang katanya elit politik itu telah memberikan contah yang kurang baik. Mau dibawa kemana negeri tercinta ini dimasa depan? Pendidikan demokrasi memerlukan sebuah proses. Sebuah proses pendidikan akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan cara yang demokratis. Kegiatan tersebut hendaknya dimulai dari satu kesatuan kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas fisik dan nonfisik, hingga sistem evaluasi dibuat dan disusun untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa dengan melibatkan secara aktif unsur siswa dan guru. Namun apakah standar evaluasi kita sudah demokratis? Khususnya standar kelulusan yang ada sekarang ini. Wah, bisa jadi polimik panjang tuk menjawabnya. Karena sangat bertolak belakang dengan realita yang ada. Selanjutnya menurut Paul Suparno dalam Soedarto (2005:20) mengatakan:"Sekolah yang demokratis akan membuka kesempatan bagi siswanya untuk mengembangkan pemikiran yang kritis dan rasional, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bebas mengekspresikan pendapat dan buah pikiran mereka, menghargai perbedaan dan menciptakan suasana belajar yang demokratis". Jika hal tersebut terus dilakukan maka akan menumbuhkan daya pemahaman dan penghayatan demokrasi dan prilaku demokratis pada siswa. Selanjutnya siswa akan terbiasa berdemokrasi sehingga akan menjadi bagian dari kehidupan siswa di sekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Hal itu dapat meredam munculnya gejolak tindak kekerasan (tauran) antarsiswa. Selanutnya siswa dalam menyerap pengetahuan yang disampaikan guru perlu sebuah proses. Dimana pengetahuan harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksikan oleh siswa. Tanpa keaktifan siswa mencerna, memahami, dan merumuskan sendiri maka pengetahuan tersebut akan sulit diterima. Selanjutnya Vernon A.Magnesen dalam Dryden (2003:100) mengutarakan, bahwa "Kita belajar akan mendapatkan 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 30 dari melihat, 50% dari melihat dan mendengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari yang dikatakan dan dilakukan". Untuk itu siswa harus mampu mengeluarkan gagasan, bila perlu gagasan yang berbeda dengan gagasan guru. Karena dalam pembelajaran demokrasi guru bukan penentu utama lagi, bahkan nilai bukan monopoli guru, kebenaran bukan monopoli guru, tetapi milik bersama, hasil dari sebuah proses pencarian dan pemikiran bersama secara rasional. Dalam hal ini, siswa mendapat kesempatan mengembangkan kreativitasnya dalam berbagai gagasan yang inovatif dan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya untuk didiskusikan bersama-sama. Karena dengan musyawarah persoalan sulit akan menjadi mudah. Al-Syalhub (2005:38) mengutarakan: "Musyawarah lebih cendrung kepada kebenaran sedangkan meninggalkannya adalah cendrung pada kesalahan. Meminta pendapat orang lain, bukanlah bukti atas kekurangan ilmunya, tetapi hal itu justru bukti dari kesempurnaan akal dan kesungguhannya" Dalam mengajarkan pendidikan demokratis perlunya keteladanan dari guru. Karena pendidikan demokratis di sekolah akan berjalan dengan baik dan lancar bila guru mengajarkan demokrasi, hidup dan bersikap demokratis. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus dapat menghayati nilai demokrasi, sehingga dapat mendidik siswa secara demokratris. Jika guru tidak demokratis maka sulit membantu siswa untuk bersikap demokratis. Dalam pembelajaran demokratis fungsi guru sebagai fasilitator dan mediator dalam membantu siswa agar siswa lebih aktif dalam belajar dan menemukan pengetahuan secara kreatif.. Maka tugas guru adalah memberikan rangsangan, mendukung, bertanya, mendengarkan, memperhatikan, dan menemani siswa dalam belajar, selanjutnya memantau dan mengevaluasi temuan siswa ( Suparno,2005:32). Generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa perlu ditanamkan sikap teloransi dan dipacu untuk lebih aktif dan kreatif agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Salah satu wadah yang dapat mengarahkan dan mengembangkan kreativitas siswa sehingga siswa dapat berargumen dan berpikir kritis secara rasional dalam menghadapi perkembangan IPTEK adalah sekolah. Maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, mengasyikkan dan dapat menggiring serta memotivasi siswa dalam menumbuhkan daya kreativitasnya. Hal senada dipertegas Peter Klin dalam Dryden (2003:22)mengatakan:"Belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan". Selanjutnya Herbert Spencer pada awal abad ini melontarkan pertanyaan:"Pengetahuan apa yang paling berharga? "Jawabannya: "Pengetahuan yang memampukan kaum muda untuk menangani berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelak akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis"(Dryden, 2003: 105). Untuk mewujudkan hal di atas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Salah satu langkah yang harus ditempuh dan dilakukan sekolah adalah bersikap proaktif dan berani melakukan trobosan-trobosan baru dalam mengubah kebiasaan instruktif dan prasaan selalu merasa puas, menerima, serta pasrah pada kenyataan yang ada untuk lebih berani mulai melakukan inovasi dalam semengat demokrasi. Demokrasi yang disampaikan di sekolah selama ini hanya sebatas teoritis dan hapalan yang dikemas dalam pelajaran PPKn dan Tata Negara. Namun Pemahaman dan kesadaran berdemokrasi belum diarahkan pada sikap dan prilaku. Seharusnya hal itu perlu diaplikansikan dalam kehidupan di masyarakat. Semengat demokrasi perlu ditanamkan di sekolah, khususnya sekolah yang ada di Kalbar. Mengingat Kalbar memiliki catatan sejarah kekerasan cukup tinggi. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar. Pada dasarnya masyarakat Kalbar hidup berdampingan secara damai, penuh teloransi dalam semengat pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran akan pluralisme tersebut mulai bergeser sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar ini. Seperti konflik tragis yang terjadi secara massal di Kabupaten Sambas pada awal tahun 1999. Peristiwa yang menggoreskan duka dan trauma yang dalam karena banyak menelan korban harta dan nyawa. Terjadinya konflik itu karena perbedaan kultur dan rendahnya kesadaran berdemokrasi dalam menyelesaikan masalah sehingga kurangnya interaksi sosial yang harmonis sesama warga. Peristiwa getir ini tidak perlu terulang kembali dan tidak perlu memperpanjang catatan sejarah konflik di Kalbar. Untuk itu sekolah-sekolah di Kalbar harus berani melakukan trobosan dengan menanamkan sikap demokratis di sekolah khususnya dalam proses belajar mengajar. Beberapa hal penting dalam Pendidikan Demokrasi di Sekolah 1. Pembelajaran yang dulunya berkiblat pada guru, kini berubah menjadi berpusat pada siswa sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator. 2. Pembelajaran yang terkesan otoriter, kini terjalin hubungan dialogis/interaktif saling membantu dan saling belajar antarsiswa dan siswa serta guru dan siswa. 3. Belajar berpikir rasional dan realistis dalam menyingkapi berbagai persoalan. 4. Tumbuhnya semengat pluralisme dan kebersamaan dalam memahami perbedaan, sehingga terjalin rasa teloransi dan kerja sama yang harmonis. 5. Komunikasi dulunya hanya satu arah dan top-down akan bergeser menjadi dua arah yang bersifat botton-up. 6. Sikap siswa yang tertutup, pemalu, takut salah, dan kaku diharapkan berubah menjadi terbuka, berani mengeluarkan pendapat dan lebih luwes, serta berpikiran lebih terbuka dalam merencanakan masa depan. 7. Terbangunnya daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi serta tanggap terhadap kemajuan IPTEK. Penulis: Guru SMA Negeri 2 Sambas

Tidak ada komentar: