Rabu, 27 Juni 2007


Krisis Kejujuran Dan Nasib Guru
Oleh: Agus Wibowo*
Apa julukan yang pantas bagi bangsa ini, jika para guru dengan kepolosan dan kejujurannya dizalimi dan diberhentikan secara sepihak ?
Pertanyaan yang mesti kita renungkan, terkait, nasib tragis mendera beberapa guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG) belum lama ini. Atas jasanya membongkar kebocoran Ujian Nasional (UN) 2007, anggota KAMG bukannya mendapatkan ucapan terima kasih, tetapi justru sebaliknya. Sebanyak 18 pengawas, 17 guru, dan seorang kepala sekolah sebagai anggota KAMG diminta mengundurkan diri.
Rupanya, dalih peningkatan mutu pendidikan dengan cara standarisasi nilai UAN, memaksa semua pihak menghalalkan segala macam cara demi mencapai standar tersebut. Al hasil, kejujuran bak sampah tak berharga dicampakkan begitu saja dari praktik pendidikan. Sehingga tak heran jika para guru yang tetap konsisten pada kode etik dan membela nilai-nilai kebenaran, dianggap penghianat yang mesti disingkirkan.
Bangsa ini merasa amat malu ketika mutu sumber daya manusianya (SDM), kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Tetap, tidak malu dengan budaya ketidak jujuran yang menempatkannya menjadi bangsa “terkorup” nomor satu di dunia.
Ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.
Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari (Limas Sutanto, 2002). Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa
Sementara ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam ketika menghadapi dugaan korupsi Rohman Dauri atau kasus suap pada Amin Rais yang menyeret para mantan calon presiden lainnya pada pilpres 2004.
Ketidakberdayaan Guru
Tak ada yang membantah, guru orang yang paling berjasa dalam kehidupan. Laksana pelita di tengah gelapnya tirai kebodohan. Dengan ketulusan, kejernihan hati dan kedalaman ilmunya, mengajar semua anak bangsa tanpa pandang bulu, mengeja makna kehidupan. Tak ada balas budi, penghargaan serta lencana tersemat di baju, selain sebutan pahlawan tanpa tanda jasa, yang meminjam istilah Winarno Surakhmad (2007); ” harus hidup sebulan dengan gaji sehari.”
Guru lebih sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang asal-asalan dalam pendidikan. Kita masih ingat, pergantian kurikulum; kurikulum tahun 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kemudian diganti lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menyisakan persoalan pelik bagi kehidupan guru.
Belum selesai gaung KTSP, guru dikejutkan kembali dengan program sertifikasi guru. Sertifikasi sejatinya tak lebih bahasa halus pemerintah memberhentikan guru yang berpendidikan rendah (non-sarjana) dari profesinya. Hingga, di tengah kesibukannya mendidik siswa, guru masih harus belajar agar bisa lulus ujuan sertifikasi, demi nasib hidup anak, istri dan keluarganya. Sungguh beban yang amat sangat berat.
Kebijakan pemberlakuan KTSP, sejatinya tidak meechig dengan standarisasi UAN. Semangat dan ruh KTSP, lebih menekankan kemandirian pada tiap-tiap satuan pendidikan, dengan asas kemandirian dan desentralisasi pendidikan. Sementara standarisasi UAN lebih bersifat sentralistik, berakumulasi pada kemampuan rata-rata dan meniadakan spesifikasi satuan-satuan pendidikan. Jika KTSP dilaksanakan, maka otomatis UAN tidak dilaksanakan. Evaluasi diserahkan kepada sekolah masing-masing, karena merekalah yang mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki.
Tetapi lantaran pemerintah tetap jumawah memberlakukan UAN, konsekuensinya guru juga yang menderita. Bagaimana tidak ? Di satu sisi guru mesti menerapkan KTSP sesuai dengan karakteristik institusi pendidikannya, tetapi di sisi lain mesti mencapai target standar UAN. Jika guru gagal menghantarkan anak didiknya mencapai nilai standar, citranya sebagai pendidik dianggap gagal, mendapat omelan dari atasan dan mesti diganti. Dalam ketidakberdayaan inilah, beberapa oknum guru melakukan tindakan tidak terpuji, tidak jujur membantu siswa mengerjakan, atau membocorkan soal UAN.
Kasus pemberhentian beberap anggota KMAG, sejatinya berlawanan dengan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di sana telah nyata tentang perlindungan terhadap guru. Perlindungan itu mencakup perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja. Apalagi, guru tidak melakukan kesalahan yang bertentangan dengan undang-undang, justru dalam pihak yang benar.
Silang-sengkarut standarisasi UAN perlu dimaknai secara lebih arif. Kegagalan UAN bukan berarti “kiamat pendidikan.” Karena, sejatinya pendidikan buka hanya mencetak intelektualitas saja, tetapi pendidikan juga membentuk serta menginternalisasikan nilai (Suyanto, 2007). Nilai-nilai moralitas yang menuntun peserta didiknya santun dalam bertindak, cerdas dalam berpikir, jujur dalam perkataan dan perbuatan, serta memiliki nilai-nilai transendental (agamis).
Meminjam teori pemaknaan Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, kita perlu mengutamakan pola pendidikan mana yang lebih bermakna dan mana yang tidak. Pendidikan berbasis intelektual (standarisasi UAN) hanya bersifat parsial, sementar yang kita butuhkan lebih jauh lagi. Dalam proses ini, pendekatan yang holistik-praktis seharusnya menjadi titik tolak bersama. Dengan model pendidikan seperti ini, pribadi yang utuh dan berkembang dapat lahir dari model pendidikan kita.
Selain itu, pendidikan perlu dikelola dengan cinta dan kejujuran lantaran ia merupakan ungkapan cinta. Pendidikan bukan sesuatu yang perlu dipolitisasi, karena jika dipolitisasi, maka pertimbangannya pun bersifat politis. Maka, kurikulum dan juga UN tidak sekadar dilihat sebagai proyek. Bukan pula yang mesti dicapai dengan cara-cara tercela.
Pemberhentian beberapa guru dalam pembeberan kecurangan UAN, tidak perlu terulang kembali. Sudah saatnya bangsa ini menempatkan guru pada posisi terhormat lantaran budi baik dan jasanya bagi anak bangsa. Kehidupan guru yang selalu dalam ranah keprihatinan, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Mestinya, gaji guru setara atau bahkan lebih tinggi dari gaji DPR, dengan tugas pertimbangan tugas guru lebih berat daripada DPR. Tetapi, guru selalu ikhlas menyumbangkan ilmu dan tenaganya, sementara DPR memperjuangkan nasib bangsa lantaran mendapat gaji dan tunjangan yang luar biasa. Bayangkan seandainya tugas DPR seberat guru, tetapi gajinya sekecil guru juga. Tentu DPR bakal “meng-interplasi-nya.” Tanya kenapa ?
*) Penulis adalah Praktisi Pendidikan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057

Tidak ada komentar: