Rabu, 27 Juni 2007

Opini Sastra

Sastra dan Kejujuran Bangsa
Oleh : Agus Wibowo*

Benarkah karya sastra memiliki hubungan positif dengan kejujuran sebuah bangsa? jawabannya kembali pada sejauh mana bangsa tersebut mengapresiasikan karya sastra dalam kehidupan.
Sampai saat ini, pemahaman kita akan keluhuran sastra baru dalam taraf kognitif plus kesadaran naif. Ya, semua orang tau sastra bisa menempa ruhani, menjadi vitamin batin, mengalirkan semangat kehidupan, dan memberinya makna. Akan tetapi, aktualisasi keluhuran sastra dalam prilaku sehari-hari tidak pernah ada.
Buktinya, bangsa ini sangat bangga menjadi bangsa yang hidup dalam terali kemunafikan dan ketidakjujuran. Meminjam istilah beberapa sahabat sastrawan “republik sandiwara palsu”. Kejujuran yang merupakan elan vital sastra, begitu nyata dikebiri dengan konsensus-konsensus atau logika kritis-terbalik, hingga masyarakat memaafkan begitu saja tindakan tercela elit politik bangsa nyata di depan mata.
Sejatinya, praktik kenegaraan dan politik kita menjadi penanda runtuhnya budaya ketimuran yang mengusung budaya sungkan, malu dan ewuh-pekewuh berselingkuh dengan kebohongan. Lebih dari itu, ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.
Pada ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam lesu saat dihadapkan pada kasus korupsi Rohman Dauri yang melibatkan kasus suap mantan ketua MPR Amin Rais, serta menyeret sejumlah nama calon presiden pada pilpres 2004.
Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi, yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari.Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa (Limas Sutanto, 2002)
Menempa Kejujuran ?
Meskipun bangsa ini terkenal sebagai bangsa yang religius, namun dalam praktik kehidupan justru sangat jauh dengan nilai-nilai religiusitas. Hal ini ditengarai semakin maraknya degradasi moral, kasus KKN dan kejahatan di berbagai penjuru tanah air. Pada titik ini, apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan. Karya sastra yang mampu menuangkan pencerahan, membimbing masyarakat pada nilai-nilai kejujuran dan mendepak budaya KKN dari bumi pertiwi.
Lewat sastra bakal terbentuk pribadi keinsanan seseorang, terpupuk kehalusan adab dan budi individu serta masyarakat dan menjadikannya komunitas berperadaban. Menurut Friedrich Schiller, sastra menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Selain itu, seorang bakal diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).
Pendek kata, ketidakjujuran yang mewabah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa terkikis lewat sastra. Asalkan, diajarkan dengan pendekatan yang tepat; yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.
Institusi yang menjadi garda depan internalisasi nilai-nilai sastra bagi putra bangsa, tidak lain adalah lembaga pendidikan. Sayangnya, apresiasi siswa negeri ini terhadap karya sastra sangat rendah. Sebagai perbandingan, siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan rekan-rekannya di Indonesia hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama berjudul Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear dan Julius Caesar karya William Shakespeare misalnya, sementara mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui bahwa William Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima abad.
Pemicu rendahnya apresiasi sastra tersebut lantaran pengajaran sastra di kelas kurang menarik, karena strategi dan pendekatannya kurang tepat. Bahasa dan sastra masih diperlakukan sebagai pengetahuan (aspek kognitif), sehingga kurang melibatkan penghayatan batin (aspek afektif) peserta didik. Di lain pihak, para guru memiliki greget membuat pembelajaran bahasa dan sastra menjadi menarik.
Perlu Rekonstruksi Kurikulum
Pembenahan kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan disempurnakan lagi dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), belum menunjukkan kemajuan berarti bagi pengajaran sastra di sekolah. Sastra masih sebagai pelajaran yang asing bagi siswa. Alih-alih, untuk sekolah di kota saja demikian bisa dibanyangkan bagaimana keadaan sekolah di desa, kenal sastra-pun tidak.
Hadirnya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), diharapkan lebih menuntut siswa bersama guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Semestinya pemerintah tidak hanya merubah kurikulum saja, tetapi juga mengusahakan program penyediaan sumber pembelajaran sastra. Terutama penyediaan karya sastra berupa novel, cerpen, dan kumpulan puisi bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Selain itu, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak memuat nilai-nilai ajaran moral dan spiritualitas hidup untuk menjadi kajian siswa-siswanya. Dalam hal ini, harus selalu ada pekerjaan rumah berupa tugas membaca karya-karya sastra sebanyak-banyaknya bagi siswa untuk kemudian direpresentasikan di depan kelas.
Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah, sangat berpengaruh dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentunya juga akan lebih baik lagi.
Karya sastra yang memiliki nilai-nilai spiritualitas, estetika dan moral bakal membentuk karakter peserta didik dan menjadi transfer pendidikan yang penuh vitamin ruhani, penyejuh hati, penebar kebahagiaan dan penuntun masyarakat pada pencerahan peradaban. Dengan jalan ini, krisis kejujuran bangsa ini bisa segera terentaskan.[]
*) Esais Sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057.

Krisis Kejujuran Dan Nasib Guru
Oleh: Agus Wibowo*
Apa julukan yang pantas bagi bangsa ini, jika para guru dengan kepolosan dan kejujurannya dizalimi dan diberhentikan secara sepihak ?
Pertanyaan yang mesti kita renungkan, terkait, nasib tragis mendera beberapa guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG) belum lama ini. Atas jasanya membongkar kebocoran Ujian Nasional (UN) 2007, anggota KAMG bukannya mendapatkan ucapan terima kasih, tetapi justru sebaliknya. Sebanyak 18 pengawas, 17 guru, dan seorang kepala sekolah sebagai anggota KAMG diminta mengundurkan diri.
Rupanya, dalih peningkatan mutu pendidikan dengan cara standarisasi nilai UAN, memaksa semua pihak menghalalkan segala macam cara demi mencapai standar tersebut. Al hasil, kejujuran bak sampah tak berharga dicampakkan begitu saja dari praktik pendidikan. Sehingga tak heran jika para guru yang tetap konsisten pada kode etik dan membela nilai-nilai kebenaran, dianggap penghianat yang mesti disingkirkan.
Bangsa ini merasa amat malu ketika mutu sumber daya manusianya (SDM), kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Tetap, tidak malu dengan budaya ketidak jujuran yang menempatkannya menjadi bangsa “terkorup” nomor satu di dunia.
Ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.
Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari (Limas Sutanto, 2002). Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa
Sementara ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam ketika menghadapi dugaan korupsi Rohman Dauri atau kasus suap pada Amin Rais yang menyeret para mantan calon presiden lainnya pada pilpres 2004.
Ketidakberdayaan Guru
Tak ada yang membantah, guru orang yang paling berjasa dalam kehidupan. Laksana pelita di tengah gelapnya tirai kebodohan. Dengan ketulusan, kejernihan hati dan kedalaman ilmunya, mengajar semua anak bangsa tanpa pandang bulu, mengeja makna kehidupan. Tak ada balas budi, penghargaan serta lencana tersemat di baju, selain sebutan pahlawan tanpa tanda jasa, yang meminjam istilah Winarno Surakhmad (2007); ” harus hidup sebulan dengan gaji sehari.”
Guru lebih sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang asal-asalan dalam pendidikan. Kita masih ingat, pergantian kurikulum; kurikulum tahun 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kemudian diganti lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menyisakan persoalan pelik bagi kehidupan guru.
Belum selesai gaung KTSP, guru dikejutkan kembali dengan program sertifikasi guru. Sertifikasi sejatinya tak lebih bahasa halus pemerintah memberhentikan guru yang berpendidikan rendah (non-sarjana) dari profesinya. Hingga, di tengah kesibukannya mendidik siswa, guru masih harus belajar agar bisa lulus ujuan sertifikasi, demi nasib hidup anak, istri dan keluarganya. Sungguh beban yang amat sangat berat.
Kebijakan pemberlakuan KTSP, sejatinya tidak meechig dengan standarisasi UAN. Semangat dan ruh KTSP, lebih menekankan kemandirian pada tiap-tiap satuan pendidikan, dengan asas kemandirian dan desentralisasi pendidikan. Sementara standarisasi UAN lebih bersifat sentralistik, berakumulasi pada kemampuan rata-rata dan meniadakan spesifikasi satuan-satuan pendidikan. Jika KTSP dilaksanakan, maka otomatis UAN tidak dilaksanakan. Evaluasi diserahkan kepada sekolah masing-masing, karena merekalah yang mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki.
Tetapi lantaran pemerintah tetap jumawah memberlakukan UAN, konsekuensinya guru juga yang menderita. Bagaimana tidak ? Di satu sisi guru mesti menerapkan KTSP sesuai dengan karakteristik institusi pendidikannya, tetapi di sisi lain mesti mencapai target standar UAN. Jika guru gagal menghantarkan anak didiknya mencapai nilai standar, citranya sebagai pendidik dianggap gagal, mendapat omelan dari atasan dan mesti diganti. Dalam ketidakberdayaan inilah, beberapa oknum guru melakukan tindakan tidak terpuji, tidak jujur membantu siswa mengerjakan, atau membocorkan soal UAN.
Kasus pemberhentian beberap anggota KMAG, sejatinya berlawanan dengan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di sana telah nyata tentang perlindungan terhadap guru. Perlindungan itu mencakup perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja. Apalagi, guru tidak melakukan kesalahan yang bertentangan dengan undang-undang, justru dalam pihak yang benar.
Silang-sengkarut standarisasi UAN perlu dimaknai secara lebih arif. Kegagalan UAN bukan berarti “kiamat pendidikan.” Karena, sejatinya pendidikan buka hanya mencetak intelektualitas saja, tetapi pendidikan juga membentuk serta menginternalisasikan nilai (Suyanto, 2007). Nilai-nilai moralitas yang menuntun peserta didiknya santun dalam bertindak, cerdas dalam berpikir, jujur dalam perkataan dan perbuatan, serta memiliki nilai-nilai transendental (agamis).
Meminjam teori pemaknaan Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, kita perlu mengutamakan pola pendidikan mana yang lebih bermakna dan mana yang tidak. Pendidikan berbasis intelektual (standarisasi UAN) hanya bersifat parsial, sementar yang kita butuhkan lebih jauh lagi. Dalam proses ini, pendekatan yang holistik-praktis seharusnya menjadi titik tolak bersama. Dengan model pendidikan seperti ini, pribadi yang utuh dan berkembang dapat lahir dari model pendidikan kita.
Selain itu, pendidikan perlu dikelola dengan cinta dan kejujuran lantaran ia merupakan ungkapan cinta. Pendidikan bukan sesuatu yang perlu dipolitisasi, karena jika dipolitisasi, maka pertimbangannya pun bersifat politis. Maka, kurikulum dan juga UN tidak sekadar dilihat sebagai proyek. Bukan pula yang mesti dicapai dengan cara-cara tercela.
Pemberhentian beberapa guru dalam pembeberan kecurangan UAN, tidak perlu terulang kembali. Sudah saatnya bangsa ini menempatkan guru pada posisi terhormat lantaran budi baik dan jasanya bagi anak bangsa. Kehidupan guru yang selalu dalam ranah keprihatinan, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Mestinya, gaji guru setara atau bahkan lebih tinggi dari gaji DPR, dengan tugas pertimbangan tugas guru lebih berat daripada DPR. Tetapi, guru selalu ikhlas menyumbangkan ilmu dan tenaganya, sementara DPR memperjuangkan nasib bangsa lantaran mendapat gaji dan tunjangan yang luar biasa. Bayangkan seandainya tugas DPR seberat guru, tetapi gajinya sekecil guru juga. Tentu DPR bakal “meng-interplasi-nya.” Tanya kenapa ?
*) Penulis adalah Praktisi Pendidikan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057


INGIN MENDAPAT UANG GRATIS DARI INTERNET..???
Blog ini berisi Informasi bisnis gratis tentang cara mendapat uang gratis dari internet tanpa modal sedikitpun, dengan memanfaatkan segala fitur=fitur gratis di internet. Juga tentang bagaimana membuat blog Anda menhasilkan uang.Please deach, baca lalu praktiin...

Cara Membuat Blog
seperti yang kita ketahui,Blog adalah situs pribadi yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk membuat kolom artikel tentang apa saja। Tidak dibutuhkan pengetahuan HTML untuk bisa membuat situs probadi ini। Blog banyak digunaka oleh orang untuk memposting artikel dan gambar, mulai dari curhat, kritik, iseng-iseng, membagi ilmu, menual barang, berbisnis dan berpromosi. Blog bisa digunakan untuk apa saja.Bahkan jika Anda ingin sedikit meningkatankan fungsinya blog bisa dijadikan alat penghasil uang dari internet.
Adapun langkah-langkah membuat Blog adalah:

  • Daftar Gratis di Blogger।com
    Perhatikan pada bagian isian tentang nama blog dan deskripsinya।
  • Pastikan Anda membuatnya sesuai dan saling terhubung antara alamat blog, nama blog, deskripsi dan konten।
    Kalo blog Anda sudah jadi, Anda sudah bisa memposting artikel apa saja sesuka hati Anda.
  • Membuat Link Untuk membuat Link pada posting Anda, ikuti langkah berikut :
    Di halaman Dashboard Blogger Anda, pilih menu "post", "create new post"!
    Block atau sorot kata atau frasa yang ingin Anda jadikan link, lalu klik tombol "add link" yang bergambar "rantai", kemudian masukan URL pada kotak isian।
    Agar link dibuka di jendela baru, lakukan cara berikut: Pilih mode "HTML", lalu cari URL yang ditandai dengan tag < href="http://......."> dan diahiri dengan < / a >. Tambahakan : target="_blank"pada tag link tersebut.Sebagai contoh :< target="_blank" href="http://ap-onlinebizz.blogspot.com">KLIK DI SINI< / a >Frasa "KLIK DI SINI" adalah frasa yang dijadikan link menuju http://ap-onlinebizz.blogspot.com. Dan bila diklik, maka halaman akan dibuka di jendela baru.Kalo Anda ingin belajar lebih banyak tentang cara mengoptimisasikan blog, Anda bisa mengunjungi Blog tutorial ini:
    http://kolom-mario.blogspot.com/.atau www.aguswibowo82.blogspot.com

Sabtu, 23 Juni 2007

OPINI SASTRA

Oleh : Agus Wibowo*
Mendialogkan sastra beserta relasi simbolik pada dunia nyata, memaksa kita mafhum akan keterbatasan tata-nilai masyarakat kontemporer. Pergulatan imaji ruang batin pujangga beserta dunia makna yang menyelubunginya dengan masyarakat pembaca yang multitafsir, tidak menjelma menjadi norma ideal dalam kehidupan.
Sampai saat ini, pemahaman akan keluhuran sastra baru dalam taraf kognitif plus kesadaran naif. Ya, semua orang tau sastra bisa menempa ruhani, menjadi vitamin hati, mengalirkan semangat kehidupan, dan memberinya makna. Akan tetapi, internalisasi sastra dalam prilaku sehari-hari tidak pernah ada.
Buktinya, bangsa ini sangat bangga ditempatkan pada urutan pertama bangsa terkorup di dunia. Tetapi berang hanya kerena sekelompok guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG), dengan kepolosan dan kejujurannya melaporkan kecurangan Ujian Nasionan (UN) sebagai representasi gawe pemerintah dalam pendidikan. Kejujuran yang merupakan elan vital sastra, begitu nyata dikebiri dengan konsensus-konsensus atau logika kritis-terbalik, hingga masyarakat memaafkan begitu saja tindakan tercela elit politik bangsa nyata di depan mata.
Sejatinya, praktik kenegaraan dan politik kita menjadi penanda runtuhnya budaya ketimuran yang mengusung budaya sungkan, malu dan ewuh-pekewuh berselingkuh dengan kebohongan. Lebih dari itu, ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.
Pada ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam lesu saat dihadapkan pada kasus korupsi Rohman Dauri yang melibatkan kasus suap mantan ketua MPR Amin Rais, serta menyeret sejumlah nama calon presiden pada pilpres 2004.
Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi, yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari.Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa (Limas Sutanto, 2002)

Pendidikan Kejujuran Lewat Sastra
Ketika agama dan berbagai perangkat hukum sudah dianggap gagal mengatur kehidupan bangsa, dengan bukti semakin maraknya degradasi moral yang ditandai kasus KKN dan kejahatan di berbagai penjuru tanah air, apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan. Sastra yang menuangkan pencerahan, membimbing masyarakat pada nilai-nilai kejujuran dan mendepak budaya KKN dari bumi pertiwi.
Lewat sastra bakal terbentuk pribadi keinsanan seseorang, terpupuk kehalusan adab dan budi individu serta masyarakat dan menjadikannya komunitas berperadaban. Menurut Friedrich Schiller, sastra menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Selain itu, seorang bakal diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).
Pendek kata, ketidakjujuran yang mewabah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa terkikis lewat sastra. Asalkan, diajarkan dengan pendekatan yang tepat; yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.
Institusi yang menjadi garda depan internalisasi nilai-nilai sastra bagi putra bangsa, tidak lain adalah lembaga pendidikan. Sayangnya, apresiasi siswa negeri ini terhadap karya sastra sangat rendah. Sebagai perbandingan, siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan rekan-rekannya di Indonesia hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama berjudul Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear dan Julius Caesar karya William Shakespeare misalnya, sementara mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui bahwa William Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima abad.
Pemicu rendahnya apresiasi sastra tersebut lantaran pengajaran sastra di kelas kurang menarik, karena strategi dan pendekatannya kurang tepat. Bahasa dan sastra masih diperlakukan sebagai pengetahuan (aspek kognitif), sehingga kurang melibatkan penghayatan batin (aspek afektif) peserta didik. Di lain pihak, para guru memiliki greget membuat pembelajaran bahasa dan sastra menjadi menarik.

Rekonstruksi Kurikulum
Pembenahan dari kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan disempurnakan lagi dengan kurikulum berbasis kompetensi belum menunjukkan kemajuan berarti bagi pengajaran sastra di sekolah. Sastra masih sebagai pelajaran yang asing bagi siswa. Alih-alih, untuk sekolah di kota saja demikian bisa dibanyangkan bagaimana keadaan sekolah di desa, kenal sastra-pun tidak.
Hadirnya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), diharapkan lebih menuntut siswa bersama guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Semestinya pemerintah tidak hanya merubah kurikulum saja, tetapi juga mengusahakan program penyediaan sumber pembelajaran sastra. Terutama penyediaan karya sastra berupa novel, cerpen, dan kumpulan puisi bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Selain itu, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak memuat nilai-nilai ajaran moral dan spiritualitas hidup untuk menjadi kajian siswa-siswanya. Dalam hal ini, harus selalu ada pekerjaan rumah berupa tugas membaca karya-karya sastra sebanyak-banyaknya bagi siswa untuk kemudian direpresentasikan di depan kelas.
Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah, sangat berpengaruh dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentunya juga akan lebih baik lagi.
Karya sastra yang memiliki nilai-nilai spiritualitas, estetika dan moral bakal membentuk karakter peserta didik dan menjadi transfer pendidikan yang penuh vitamin ruhani, penyejuh hati, penebar kebahagiaan dan penuntun masyarakat pada pencerahan peradaban. Dengan jalan ini, krisis kejujuran bangsa ini bisa segera terentaskan.[]
*) Esais Sastra, Sedang menempuh studi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057.

Cara Nyari Uang



The Power of Giving



Internet world has made a stark and unumbiguous example and lesson on the power of generosity. Of course technological innovation becomes a part of the parcel. The more you give, the more you win the heart and mind of many people. Have a look at the phenomenal fame and growth of the just-acquired-by-google video networking youtube.com.Following the line of Google's everything-online-is-free jargon, youtube . com just gives away everything to the end-user that is you and me. Blogger.com (blogspot) which gives its users almost full control of its content, feedburner . com which is so innovative and beginner friendly and the easy-to-use and innovativeness of mybloglog.com are among other free online services that stand out among the rest; both for their innovation and generosity. It's in line with the old adage that "the more you give (material or non-material thing), the more you get (heart, mind and respect)." And in business term, more profit.It's with the same reason why Chinese Indonesian are generally more successful in their business than the so-called pribumi (literally, the sons of the soil. Term being used by Suharto's regime to divide people on ethnic base).If you want to buy something, say a laptop, you'd check out some laptop shops to compare prices and look at the most "negotiable" ones. Almost certain, you'd end up in a shop owned by ethnic Chinese not only will you get the better price, you'd also get a relatively more professional treatment. While the pribumi wants a bigger short term profit, ethnic Chinese tends to take a long term plan--to win heart, mind and loyalty of consumers--as more significant. And that will lead to a long term consequences as well, for the worse and for the better respectively.In day-to-day life, one who is more generous and "giving", materially or emotially will get more respect and fondness from others. Despite his intellectual shortcoming, President George W. Bush is known for his emotional generosity. No less than Hillary Clinton who testified in a media recently that he's very charming and loveable. A charming, loveable and charismatic personality is usually closely related to a person who's generous. Generosity also means the readiness to budge, to appreciate, not to be critical to others on personal matters and being self-critical instead. Sometimes this kind of generosity is playing more important role in building up our credibility as a person as well as a leader.Related articles:

Opini Pendidikan Kalteng Pos: Rabu, 20 Juni 2007

Pentingnya Pendidikan yang " Demokratis" di Sekolah
Oleh: Eni Dewi Kurniawati
Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan cratia artinya pemerintahan. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat (Budianto,2003:38). Selanjutnya menurut Abraham Lincoln dalam Jumadi (2006:2) mengatakan: "Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat"( government of the people, by the people, for the people). Intinya adalah suatu tata pemerintahan dimana rakyat, baik secara langsung maupun tidak, berkuasa dan berdaulat penuh. Demokrasi Pendidikan adalah suatu kegiatan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi semua warga pendidikan mulai dari siswa hingga guru untuk berperan aktif dan bersedia belajar secara mandiri dan bersama-sama tanpa membedakan latar belakang serta ikut berpartisipasi dalam pembelajaran yang mengacu pada kurikulum. Dalam menjalankan demokrasi perlu proses belajar dan pembelajaran warga dari sebuah bangsa bagaimana menjamin kehidupan bersama dalam memenuhi dan menentukan masa depan bangsanya. Lembaga pendidikan sebagai "Kawah Candradimuka" nya para pemimpin bangsa ini ternyata belum mampu memberikan sumbangan yang optimal untuk terciptanya demokrasi yang diharapkan. Terbukti bahwa semua elit politik dan pemimpin bangsa ini dipastikan telah mengenyam pendidikan, tetapi pola sikap dan kebijakan mereka masih belum mencerminkan kepemimpinan yang demokratis. Dan kebijakan yang dibuat secara otoriter itu tidak jarang menimbulkan kontroversi dikalangan warga. Bahkan tidak sedikit yang berdampak pada timbulnya kekerasan antarwarga (Tim Madanika, 2006:1) Berdasarkan pernyataan di atas, tergambar bahwa demokrasi yang sudah disuarakan oleh para pendahulu kita bahkan apa yang sudah tercantum dalam UUD belum mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Potret realita yang ada di gedung DPR RI , pada saat bersidang sering ditemukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Begitukah caranya pemimpin negeri ini berdeokrasi? Apa jadinya bangsa ini jika pemimpin yang katanya elit politik itu telah memberikan contah yang kurang baik. Mau dibawa kemana negeri tercinta ini dimasa depan? Pendidikan demokrasi memerlukan sebuah proses. Sebuah proses pendidikan akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan cara yang demokratis. Kegiatan tersebut hendaknya dimulai dari satu kesatuan kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas fisik dan nonfisik, hingga sistem evaluasi dibuat dan disusun untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa dengan melibatkan secara aktif unsur siswa dan guru. Namun apakah standar evaluasi kita sudah demokratis? Khususnya standar kelulusan yang ada sekarang ini. Wah, bisa jadi polimik panjang tuk menjawabnya. Karena sangat bertolak belakang dengan realita yang ada. Selanjutnya menurut Paul Suparno dalam Soedarto (2005:20) mengatakan:"Sekolah yang demokratis akan membuka kesempatan bagi siswanya untuk mengembangkan pemikiran yang kritis dan rasional, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bebas mengekspresikan pendapat dan buah pikiran mereka, menghargai perbedaan dan menciptakan suasana belajar yang demokratis". Jika hal tersebut terus dilakukan maka akan menumbuhkan daya pemahaman dan penghayatan demokrasi dan prilaku demokratis pada siswa. Selanjutnya siswa akan terbiasa berdemokrasi sehingga akan menjadi bagian dari kehidupan siswa di sekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Hal itu dapat meredam munculnya gejolak tindak kekerasan (tauran) antarsiswa. Selanutnya siswa dalam menyerap pengetahuan yang disampaikan guru perlu sebuah proses. Dimana pengetahuan harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksikan oleh siswa. Tanpa keaktifan siswa mencerna, memahami, dan merumuskan sendiri maka pengetahuan tersebut akan sulit diterima. Selanjutnya Vernon A.Magnesen dalam Dryden (2003:100) mengutarakan, bahwa "Kita belajar akan mendapatkan 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 30 dari melihat, 50% dari melihat dan mendengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari yang dikatakan dan dilakukan". Untuk itu siswa harus mampu mengeluarkan gagasan, bila perlu gagasan yang berbeda dengan gagasan guru. Karena dalam pembelajaran demokrasi guru bukan penentu utama lagi, bahkan nilai bukan monopoli guru, kebenaran bukan monopoli guru, tetapi milik bersama, hasil dari sebuah proses pencarian dan pemikiran bersama secara rasional. Dalam hal ini, siswa mendapat kesempatan mengembangkan kreativitasnya dalam berbagai gagasan yang inovatif dan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya untuk didiskusikan bersama-sama. Karena dengan musyawarah persoalan sulit akan menjadi mudah. Al-Syalhub (2005:38) mengutarakan: "Musyawarah lebih cendrung kepada kebenaran sedangkan meninggalkannya adalah cendrung pada kesalahan. Meminta pendapat orang lain, bukanlah bukti atas kekurangan ilmunya, tetapi hal itu justru bukti dari kesempurnaan akal dan kesungguhannya" Dalam mengajarkan pendidikan demokratis perlunya keteladanan dari guru. Karena pendidikan demokratis di sekolah akan berjalan dengan baik dan lancar bila guru mengajarkan demokrasi, hidup dan bersikap demokratis. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus dapat menghayati nilai demokrasi, sehingga dapat mendidik siswa secara demokratris. Jika guru tidak demokratis maka sulit membantu siswa untuk bersikap demokratis. Dalam pembelajaran demokratis fungsi guru sebagai fasilitator dan mediator dalam membantu siswa agar siswa lebih aktif dalam belajar dan menemukan pengetahuan secara kreatif.. Maka tugas guru adalah memberikan rangsangan, mendukung, bertanya, mendengarkan, memperhatikan, dan menemani siswa dalam belajar, selanjutnya memantau dan mengevaluasi temuan siswa ( Suparno,2005:32). Generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa perlu ditanamkan sikap teloransi dan dipacu untuk lebih aktif dan kreatif agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Salah satu wadah yang dapat mengarahkan dan mengembangkan kreativitas siswa sehingga siswa dapat berargumen dan berpikir kritis secara rasional dalam menghadapi perkembangan IPTEK adalah sekolah. Maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, mengasyikkan dan dapat menggiring serta memotivasi siswa dalam menumbuhkan daya kreativitasnya. Hal senada dipertegas Peter Klin dalam Dryden (2003:22)mengatakan:"Belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan". Selanjutnya Herbert Spencer pada awal abad ini melontarkan pertanyaan:"Pengetahuan apa yang paling berharga? "Jawabannya: "Pengetahuan yang memampukan kaum muda untuk menangani berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelak akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis"(Dryden, 2003: 105). Untuk mewujudkan hal di atas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Salah satu langkah yang harus ditempuh dan dilakukan sekolah adalah bersikap proaktif dan berani melakukan trobosan-trobosan baru dalam mengubah kebiasaan instruktif dan prasaan selalu merasa puas, menerima, serta pasrah pada kenyataan yang ada untuk lebih berani mulai melakukan inovasi dalam semengat demokrasi. Demokrasi yang disampaikan di sekolah selama ini hanya sebatas teoritis dan hapalan yang dikemas dalam pelajaran PPKn dan Tata Negara. Namun Pemahaman dan kesadaran berdemokrasi belum diarahkan pada sikap dan prilaku. Seharusnya hal itu perlu diaplikansikan dalam kehidupan di masyarakat. Semengat demokrasi perlu ditanamkan di sekolah, khususnya sekolah yang ada di Kalbar. Mengingat Kalbar memiliki catatan sejarah kekerasan cukup tinggi. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar. Pada dasarnya masyarakat Kalbar hidup berdampingan secara damai, penuh teloransi dalam semengat pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran akan pluralisme tersebut mulai bergeser sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar ini. Seperti konflik tragis yang terjadi secara massal di Kabupaten Sambas pada awal tahun 1999. Peristiwa yang menggoreskan duka dan trauma yang dalam karena banyak menelan korban harta dan nyawa. Terjadinya konflik itu karena perbedaan kultur dan rendahnya kesadaran berdemokrasi dalam menyelesaikan masalah sehingga kurangnya interaksi sosial yang harmonis sesama warga. Peristiwa getir ini tidak perlu terulang kembali dan tidak perlu memperpanjang catatan sejarah konflik di Kalbar. Untuk itu sekolah-sekolah di Kalbar harus berani melakukan trobosan dengan menanamkan sikap demokratis di sekolah khususnya dalam proses belajar mengajar. Beberapa hal penting dalam Pendidikan Demokrasi di Sekolah 1. Pembelajaran yang dulunya berkiblat pada guru, kini berubah menjadi berpusat pada siswa sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator. 2. Pembelajaran yang terkesan otoriter, kini terjalin hubungan dialogis/interaktif saling membantu dan saling belajar antarsiswa dan siswa serta guru dan siswa. 3. Belajar berpikir rasional dan realistis dalam menyingkapi berbagai persoalan. 4. Tumbuhnya semengat pluralisme dan kebersamaan dalam memahami perbedaan, sehingga terjalin rasa teloransi dan kerja sama yang harmonis. 5. Komunikasi dulunya hanya satu arah dan top-down akan bergeser menjadi dua arah yang bersifat botton-up. 6. Sikap siswa yang tertutup, pemalu, takut salah, dan kaku diharapkan berubah menjadi terbuka, berani mengeluarkan pendapat dan lebih luwes, serta berpikiran lebih terbuka dalam merencanakan masa depan. 7. Terbangunnya daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi serta tanggap terhadap kemajuan IPTEK. Penulis: Guru SMA Negeri 2 Sambas
Kurikulum Antikorupsi dan Pemberantasan KKN
Oleh : Agus Wibowo*
Langkah pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang digawangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seakan menemui jalan buntu. Bukan hanya rumitnya mata rantai KKN, tetapi adanya langkah sistematis gugatan balik para tersangka justru menghambat proses hukum itu sendiri.
Belum lagi, jagad moralitas hukum kita—meminjam istilah Cak Nun—sering selingkuh, mendua dan tebang pilih. Para penegak hukum itu malah terjebak, turut terseret menjadi pelaku korupsi itu sendiri. KPK menyerah dan tak habis pikir, jurus apa yang bisa dilakukan guna memberantas korupsi yang telah mendarah daging itu.
Baru-baru ini KPK dipusingkan lagi terkait pengusutan KKN pada mantan Menteri Departemen Kelautan Rokhmin Dauri. Tak dinyana, semua calon wapres yang berlaga pada Pilpres 2004 kecipratan dana haram hasil korupsi tersebut. Mestinya jika KPK konsisten pada kredonya, segera mengadili para pengemplang dana rakyat tersebut. Termasuk terhadap pak Amin (Prof Dr Amin Rais) yang secara kesatria mengaku menerima Rp 200 juta, presiden SBY dan Wapres JK, Hasyim Muzadi, Megawati dan beberapa anggota DPR/MPR. Pertanyaannya berani-kah KPK berhadapan dengan para elit pemegang kekuasaan tersebut ? Jawabannya sudah pasti, KPK tak berdaya !
Memang penegakan hukum terkait KKN yang melibatkan para elit bangsa ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Centang-perentang budaya korup warisan nenek moyang, mencengkram denyut nadi bangsa ini. Kompleksitasnya jejaring dan mata rantai KKN, mestinya disikapi oleh KPK dengan tidak hanya bergerak pada aspek legalitas hukum saja. Tetapi juga secara kultural maupun multikultural perlahan-lahan memutus akar budayanya.
Ide memasukkan kurikulum anti-korupsi dalam pendidikan tingkat SD-SMA yang digagas KPK belum lama ini, patut disikapi secara cerdas. Memang internalisasi nilai-nilai moralitas, sensibilitas sosial dan jagat tata nilai lainnya, efektiv melalui bangku pendidikan. Khususnya, pendidikan dasar (SD-SMP) dan menengah (SMA). Siswa SD-SMA tengah melalui tahapan-tahapan psikologis yang sangat dominan pada pembentukan karakternya. Fase tersebut dimulai dari periode kanak-kanak akhir (late childhood) hingga periode dewasa awal (early adulthood). Karakter fase psikologis tersebut; siswa menirukan segenap tata-nilai dan prilaku di sekitarnya, mulai masaknya organ-organ seksual, pengambilan pola prilaku dan nilai-nilai baru, idealis dan pemantapan identitas diri (Irwanto, 2002).
Jika dalam fase-fase perkembangan psikologis tersebut ditata secara apik struktur maupun bangun nilai anti KKN, maka akan menjadi dasar yang kuat dalam melandasi sikap, langkah dan gerak hidup mereka di masa mendatang.
Internalisasi kurikulum anti-korupsi, mesti merambah tiga aspek kecerdasan peserta didik. Yaitu aspek kecerdasan (kognitif), sikap (afektif) dan prilaku (psikomotorik). Internalisasi pada aspek kognitif diantaranya melalui pemberian berbagai informasi mengenai KKN, konsekuensi hukum dan dampak negatif terhadap kehidupan bangsa. Aspek afektif meliputi penumbuhan minat (interst), sikap (attitude), nilai (value) dan apresiasi (appreciation) anti-KKN dalam kehidupan. Sementara pada aspek psikomotorik, tertandai dengan siswa enggan melakukan KKN dalam bentuk kecil maupun besar (mencontek, manipulasi nilai dan sebagainya).
Selama ini, penanaman tata-nilai terfokus pada aspek kognitif semata. Konsekuensinya, pemahaman bahwa KKN itu buruk, jahat dan harus dihindari tidak mampu mencegah siswa melakukan manipulasi nilai, menjiplak waktu Ujian Nasional (UN) dan sebagainya. Setidaknya, terbongkarnya kecurangan UN 2007 menjadi sebagian penanda penanaman tata-nilai (baca; moralitas) baru di tingkat kognitif.
Format kurikulum anti-korupsi menurut hemat penulis tidak harus mewujud dalam satu mata pelajaran. Sebab, banyaknya mata pelajaran yang sudah ada cukup membebani aspek psiokologis siswa. Eksesnya, siswa menjadi tertekan, kurang ada ruang untuk aktualisasi diri serta menemukan makna kehidupan dalam pendidikan.
Kurikulum anti-korupsi cukup menjadi semacam hidden kurikulum atau kurikulum yang tersembunyi, di mana “term” KKN diselipkan dalam berbagai mata pelajaran. Guru selalu mengaitkan persoalan KKN dalam tema-tema pembelajaran, entah Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN), fisika, ekonomi, sejarah, agama dan sebagainya. Strategi pembelajaran hendaknya melibatkan peserta didik, ada media terkait KKN (gambar-gambar, foto, kliping dan sebagainya), ada praktik dilapangan dan keteladanan dari guru (Suyanto, 2000). Hasil yang diharapkan, siswa akan merasakan kebencian yang mendalam terhadap para koruptor sehingga pada saatnya mereka berkiprah, mereka secara tidak langsung ikut menjadi motor penggerak perang melawan korupsi.
Internalisasi kurikulum anti korupsi juga perlu melibatan tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat dan keluarga). Dalam masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan lainnya perlu senada menanamkan pemahaman bahwa KKN mesti dijauhi. Melalui forum-forum perbincangan ringan di warung kopi, angkringan, arisan, pengajian RT / RW dan sebagainya. Sementara dalam keluarga, perlu adanya keteladanan orang tua serta keadilan sikap dan prilaku terhadap putra-putrinya.
Internalisasi kurikulum anti-korupsi membutuhkan dukungan semua pihak. Khususnya Departemen Pendidikan sebagai motor kegiatan pendidikan di negeri ini. Selain itu, pemerintah SBY-JK mestinya lebih tegas mendukung langkah memberantas segala bentuk kejahatan KKN di negeri ini. Tak peduli apakah kasus kejahatan itu terjadi di lembaga BUMN, kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga lain. Pembenahan moralitas di lingkungan pejabat negara wajib hukumnya guna meminimalkan kasus korupsi di balik tubuh birokrasi.
Sudah saatnya korupsi sebagai kejahatan intelektual terbesar yang mengancam eksistensi masa depan Indonesia, diperangi dari sisi intelektual juga. Kita tak rela jika uang rakyat yang tak kurang dari Rp 7 triliun, dilahap begitu saja untuk kesenangan segelintir orang. Uang dan kesejahteraan milik negara mestinya dibagi rata atau digunakan untuk mensejahterakan 210 juta jiwa penduduk negeri ini.[]
*) Penulis adalah Peneliti pada Forum Kajian Politik dan Pendidikan (FKPP), Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Alamat Penulis; agus1982wb@yahoo.co.id, Telp : 085 292 569 057 Rekening : BRI Unit Mataram 3015-01-009577-53-3

Opini Politik

Reaktualisasi Elanvital gerakan Reformasi
Oleh: Agus Wibowo*
Pasca lengsernya Suharto (21/05/1998), menjadi penanda gerakan reformasi yang kini menapaki usia yang ke-sembilan. Jika diibaratkan bayi manusia, mestinya sudah tumbuh menjadi remaja dengan paras elok nan-rupawan.
Tidak demikian bayi reformasi. Ia tumbuh tanpa vitamin keadilan, susu kesejahteraan rakyat, gizi pemihakan atas rakyat dan payung penegakan hukum yang lemah tak kuasa mengayominya. Al hasil, bayi reformasi tumbuh prematur, menjadi sarang penyakit KKN dan tidak mampu mempertahankan sustainabilitas-nya. Ia kini tak lebih simbol atau lencana penghargaan bagi mereka yang pernah memperjuangkannya.
Tak ada penanda signifikan bahwa reformasi membawa perubahan. Memang dari segi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat patut diacungi jempol. Tetapi dari budaya (culture) pemerintahan, sistem birokrasi dan pelayanan publik, tak ada bedanya dengan orde baru. Meminjam istilah Alois (2007), reformasi sama dengan "Neo-Orba". Artinya, zaman reformasi ini masih dikuasai oleh mereka yang bermental Orba! Harapan reformasi adalah redemokratisasi, serta penegakan hukum di segala bidang tidak terjadi. Reformasi yang sudah bergulir sembilan tahun tidak lebih dari perpanjangan Orde Baru.
Bagaimana tidak, agenda utama reformasi guna mengadili mantan presiden Suharto beserta seluruh kroninya, tidak lagi ada kabar beritanya. Hukum kita masih menganut tradisi jawa, sungkan atau ewuh-pekewuh mengadili mantan raja tersebut, meski bukti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukannya menumpuk setinggi bukit.
Dari sosial kemasyarakatan, ide masyarakat madani (civil society) yang membahana berbarengan dengan tuntutan reformasi, kini malu menampakkan diri. Rakyat semakin miskin, merana dan tertindas. Kasus lumpur Sidoarjo, penambangan Buyat, Gempa bumi Jogja dan Jateng, Pangandaran, Solok dan kasus sengketa tanah warga Meruya, menjadi penanda (signal) pemerintah gagal melaksanakan amanat reformasi.
Sementara soal kualitas sistem pendidikan di Indonesia terbilang buruk. Menurut hasil penelitian sebuah lembaga konsultan di Singapura (The Political and Economics Risk Consultancy/PERC) September 2001, sistem pendidikan Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia. Sistem pendidikan yang carut-marut, gilirannya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) menunjukkan, kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara. Ini jauh dibandingkan dengan Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Filipina (77).
Mengejutkan lagi, pernyataan menteri keuangan Kabinet Indonesia bersatu (KIB) Sri Mulyani belum lama ini. Menurutnya, dari tinjauan ekonomi makro dan laju harga minyak dunia, krisis moneter 1997 bakal terulang lagi. Wacana ini sempat membuat pemerintah sewot sehingga wapres buru-buru menepisnya. Mestinya pemerintah mensikapi wacana tersebut secara arif. Bukankah penanda krisis laiknya tahun 1997 sudah terlihat ? kelangkaan BBM, iklim yang tidak menentu, petani gagal panen, naiknya harga minyak dunia serta turunnya mata uang dolar terhadap mata dunia memiliki kesamaan ?
Tumbangnya rezim Suharto dengan sekala piranti otoriternya, tidak serta-merta membawa sinyalemen positif kesejahteraan rakyat. Rupiah masih dipatok pada kisaran delapan ribuan per-dolar bahkan lebih. Imbasnya, berbagai produk import mengalami kelonjakan harga. Itulah salahnya mengapa pemerintah dahulu mempromosikan memakai barang impor.
Selogan ACI (Aku Cinta Indonesia) pada kurun waktu 90-an sebagai upaya mempopulerkan serta menumbuhkan kecintaan penggunaan produk dalam negeri, harus digusur iklan produk impor yang dipopulerkan oleh berbagai TV swasta. Al hasil, masyarakat semakin gandrung dan merasa kurang Pe-de bila tidak memakai barang-barang impor.
Kemampuan Suharto yang secara instant menata pemerintahan transisi dari orde lama (Orla) menuju orde baru (Orba), layak diacungi jempol. Meski demikian, tidak layak dijadikan teladan. Bukan saja model pemerintahannya yang otoriter, tetapi penataan secara instan tersebut dilakukannya tangan besi. Semua yang menentangnya bakal masuk bui. Penamaan lawan politik sebagai orang yang terlibat atau simpatisan PKI, merupakan senjata ampuh hingga separuh masa kepemimpinannya.
Pemerintahan SBY-JK yang berada masa transisi (Orba ke reformasi), mestinya mempunyai pegangan yang kokoh. Hal ini lantaran nilai baru yang dibawa reformasi belum terserap kuat, sementara nilai lama sudah ditinggalkan (O’Donnel dan Schmitter, 1986). Tarik-ulur reshuffle kabinet baru-baru ini menandakan kepemimpinan politik tidak tegas dalam prinsip. Jika pemerintah berpikir di ranah yang luas, mestinya perombakan kabinet dan segala langkah pemerintah ke depan dimaksudkan untuk perubahan bangsa dan negara, bukan sekadar manufaktur politik.
Momentum kebangkitan nasional (Harkitnas) disusul peringatan sembilan tahun reformasi, mestinya dijadikan tonggak segenap elemen bangsa merapatkan barisan. Apakah perlu didatangkan musuh bersama (come enemy) guna menyatukan tekad semangat reformasi ?
Solidaritas mesti dikukuhkan guna merentangkan sayap reformasi. Secara leksikal, solidaritas merupakan gabungan dan kesepakatan dari seluruh elemen atau individu, sebagai satu kelompok; kesatuan yang lengkap, seperti dari opini, tujuan, kepentingan, perasaan, dan sebagainya (lihat: Websters New World Dictionary, 1998). Dalam bentuk dan cakupannya, solidaritas dimaksud lazim diistilahkan solidaritas sosial. Menurut David Jary dan Julia Jary (1991), solidaritas sosial adalah suatu integrasi, dan derajat atau tipe integrasi tersebut dimanifestasikan oleh masyarakat atau kelompok, menjadi semacam bangun solidaritas mekanis.
Bangunan solidaritas mekanis tersebut memiliki kriteria fundamental, yakni kemampuannya memobilisasi seluruh masyarakat yang berpengaruh sangat kuat bagi terbentuknya kesadaran umum atas kepercayaan dan praktik sosial. Karena derajat proliferasi nilai dan kepercayaan bersama itu memperluas seluruh masyarakat, kohesi sosial menjadi intens dan ikatan individu terhadap masyarakat menjadi kuat dan disatukan (Ken Morrison, 1997).
Solidaritas mekanis yang kuat digunakan bersama-sama mengentaskan persoalan bangsa. Sudah saatnya dimunculkan gerakan kultural reformasi jilid II, dimana penuntasan kasus korupsi menjadi agenda dominan. Penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, pengadilan kasus Munir, hubungan ektradisi yang trasparan menjadi agenda kedua. Saatnya pemerintah sebagai pemegang sekaligus pengambil kebijakan (policy making), bersikap tegas alias tidak plin-plan dan tidak tebang pilih dalam penanganan kasus hukum.
Teori-teori pembangunan yang ramai pada dekade 70-80 an, mestinya kembali dimunculkan. Selama ini, kita masih berpijak pada konsep-konsep pembangunan era tersebut, padahal kondisi esensial kita lebih parah dari masa-masa tersebut. Hasil akumulasi teori pembangunan digunakan guna mensejahterakan masyarakat, dan menjadikan warganya tuan rumah di negeri sendiri. Jika tidak untuk mensejahterakan, melindungi dan mengayomi rakyat, apa guna negara kesatuan Republik Indonesia ? bukankah lebih baik dibubarkan saja ? *) Peneliti pada Culture and Education Research Centre (CERC).