Sabtu, 23 Juni 2007

Opini Politik

Reaktualisasi Elanvital gerakan Reformasi
Oleh: Agus Wibowo*
Pasca lengsernya Suharto (21/05/1998), menjadi penanda gerakan reformasi yang kini menapaki usia yang ke-sembilan. Jika diibaratkan bayi manusia, mestinya sudah tumbuh menjadi remaja dengan paras elok nan-rupawan.
Tidak demikian bayi reformasi. Ia tumbuh tanpa vitamin keadilan, susu kesejahteraan rakyat, gizi pemihakan atas rakyat dan payung penegakan hukum yang lemah tak kuasa mengayominya. Al hasil, bayi reformasi tumbuh prematur, menjadi sarang penyakit KKN dan tidak mampu mempertahankan sustainabilitas-nya. Ia kini tak lebih simbol atau lencana penghargaan bagi mereka yang pernah memperjuangkannya.
Tak ada penanda signifikan bahwa reformasi membawa perubahan. Memang dari segi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat patut diacungi jempol. Tetapi dari budaya (culture) pemerintahan, sistem birokrasi dan pelayanan publik, tak ada bedanya dengan orde baru. Meminjam istilah Alois (2007), reformasi sama dengan "Neo-Orba". Artinya, zaman reformasi ini masih dikuasai oleh mereka yang bermental Orba! Harapan reformasi adalah redemokratisasi, serta penegakan hukum di segala bidang tidak terjadi. Reformasi yang sudah bergulir sembilan tahun tidak lebih dari perpanjangan Orde Baru.
Bagaimana tidak, agenda utama reformasi guna mengadili mantan presiden Suharto beserta seluruh kroninya, tidak lagi ada kabar beritanya. Hukum kita masih menganut tradisi jawa, sungkan atau ewuh-pekewuh mengadili mantan raja tersebut, meski bukti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukannya menumpuk setinggi bukit.
Dari sosial kemasyarakatan, ide masyarakat madani (civil society) yang membahana berbarengan dengan tuntutan reformasi, kini malu menampakkan diri. Rakyat semakin miskin, merana dan tertindas. Kasus lumpur Sidoarjo, penambangan Buyat, Gempa bumi Jogja dan Jateng, Pangandaran, Solok dan kasus sengketa tanah warga Meruya, menjadi penanda (signal) pemerintah gagal melaksanakan amanat reformasi.
Sementara soal kualitas sistem pendidikan di Indonesia terbilang buruk. Menurut hasil penelitian sebuah lembaga konsultan di Singapura (The Political and Economics Risk Consultancy/PERC) September 2001, sistem pendidikan Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia. Sistem pendidikan yang carut-marut, gilirannya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) menunjukkan, kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara. Ini jauh dibandingkan dengan Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Filipina (77).
Mengejutkan lagi, pernyataan menteri keuangan Kabinet Indonesia bersatu (KIB) Sri Mulyani belum lama ini. Menurutnya, dari tinjauan ekonomi makro dan laju harga minyak dunia, krisis moneter 1997 bakal terulang lagi. Wacana ini sempat membuat pemerintah sewot sehingga wapres buru-buru menepisnya. Mestinya pemerintah mensikapi wacana tersebut secara arif. Bukankah penanda krisis laiknya tahun 1997 sudah terlihat ? kelangkaan BBM, iklim yang tidak menentu, petani gagal panen, naiknya harga minyak dunia serta turunnya mata uang dolar terhadap mata dunia memiliki kesamaan ?
Tumbangnya rezim Suharto dengan sekala piranti otoriternya, tidak serta-merta membawa sinyalemen positif kesejahteraan rakyat. Rupiah masih dipatok pada kisaran delapan ribuan per-dolar bahkan lebih. Imbasnya, berbagai produk import mengalami kelonjakan harga. Itulah salahnya mengapa pemerintah dahulu mempromosikan memakai barang impor.
Selogan ACI (Aku Cinta Indonesia) pada kurun waktu 90-an sebagai upaya mempopulerkan serta menumbuhkan kecintaan penggunaan produk dalam negeri, harus digusur iklan produk impor yang dipopulerkan oleh berbagai TV swasta. Al hasil, masyarakat semakin gandrung dan merasa kurang Pe-de bila tidak memakai barang-barang impor.
Kemampuan Suharto yang secara instant menata pemerintahan transisi dari orde lama (Orla) menuju orde baru (Orba), layak diacungi jempol. Meski demikian, tidak layak dijadikan teladan. Bukan saja model pemerintahannya yang otoriter, tetapi penataan secara instan tersebut dilakukannya tangan besi. Semua yang menentangnya bakal masuk bui. Penamaan lawan politik sebagai orang yang terlibat atau simpatisan PKI, merupakan senjata ampuh hingga separuh masa kepemimpinannya.
Pemerintahan SBY-JK yang berada masa transisi (Orba ke reformasi), mestinya mempunyai pegangan yang kokoh. Hal ini lantaran nilai baru yang dibawa reformasi belum terserap kuat, sementara nilai lama sudah ditinggalkan (O’Donnel dan Schmitter, 1986). Tarik-ulur reshuffle kabinet baru-baru ini menandakan kepemimpinan politik tidak tegas dalam prinsip. Jika pemerintah berpikir di ranah yang luas, mestinya perombakan kabinet dan segala langkah pemerintah ke depan dimaksudkan untuk perubahan bangsa dan negara, bukan sekadar manufaktur politik.
Momentum kebangkitan nasional (Harkitnas) disusul peringatan sembilan tahun reformasi, mestinya dijadikan tonggak segenap elemen bangsa merapatkan barisan. Apakah perlu didatangkan musuh bersama (come enemy) guna menyatukan tekad semangat reformasi ?
Solidaritas mesti dikukuhkan guna merentangkan sayap reformasi. Secara leksikal, solidaritas merupakan gabungan dan kesepakatan dari seluruh elemen atau individu, sebagai satu kelompok; kesatuan yang lengkap, seperti dari opini, tujuan, kepentingan, perasaan, dan sebagainya (lihat: Websters New World Dictionary, 1998). Dalam bentuk dan cakupannya, solidaritas dimaksud lazim diistilahkan solidaritas sosial. Menurut David Jary dan Julia Jary (1991), solidaritas sosial adalah suatu integrasi, dan derajat atau tipe integrasi tersebut dimanifestasikan oleh masyarakat atau kelompok, menjadi semacam bangun solidaritas mekanis.
Bangunan solidaritas mekanis tersebut memiliki kriteria fundamental, yakni kemampuannya memobilisasi seluruh masyarakat yang berpengaruh sangat kuat bagi terbentuknya kesadaran umum atas kepercayaan dan praktik sosial. Karena derajat proliferasi nilai dan kepercayaan bersama itu memperluas seluruh masyarakat, kohesi sosial menjadi intens dan ikatan individu terhadap masyarakat menjadi kuat dan disatukan (Ken Morrison, 1997).
Solidaritas mekanis yang kuat digunakan bersama-sama mengentaskan persoalan bangsa. Sudah saatnya dimunculkan gerakan kultural reformasi jilid II, dimana penuntasan kasus korupsi menjadi agenda dominan. Penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, pengadilan kasus Munir, hubungan ektradisi yang trasparan menjadi agenda kedua. Saatnya pemerintah sebagai pemegang sekaligus pengambil kebijakan (policy making), bersikap tegas alias tidak plin-plan dan tidak tebang pilih dalam penanganan kasus hukum.
Teori-teori pembangunan yang ramai pada dekade 70-80 an, mestinya kembali dimunculkan. Selama ini, kita masih berpijak pada konsep-konsep pembangunan era tersebut, padahal kondisi esensial kita lebih parah dari masa-masa tersebut. Hasil akumulasi teori pembangunan digunakan guna mensejahterakan masyarakat, dan menjadikan warganya tuan rumah di negeri sendiri. Jika tidak untuk mensejahterakan, melindungi dan mengayomi rakyat, apa guna negara kesatuan Republik Indonesia ? bukankah lebih baik dibubarkan saja ? *) Peneliti pada Culture and Education Research Centre (CERC).

Tidak ada komentar: