Sabtu, 23 Juni 2007

Kurikulum Antikorupsi dan Pemberantasan KKN
Oleh : Agus Wibowo*
Langkah pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang digawangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seakan menemui jalan buntu. Bukan hanya rumitnya mata rantai KKN, tetapi adanya langkah sistematis gugatan balik para tersangka justru menghambat proses hukum itu sendiri.
Belum lagi, jagad moralitas hukum kita—meminjam istilah Cak Nun—sering selingkuh, mendua dan tebang pilih. Para penegak hukum itu malah terjebak, turut terseret menjadi pelaku korupsi itu sendiri. KPK menyerah dan tak habis pikir, jurus apa yang bisa dilakukan guna memberantas korupsi yang telah mendarah daging itu.
Baru-baru ini KPK dipusingkan lagi terkait pengusutan KKN pada mantan Menteri Departemen Kelautan Rokhmin Dauri. Tak dinyana, semua calon wapres yang berlaga pada Pilpres 2004 kecipratan dana haram hasil korupsi tersebut. Mestinya jika KPK konsisten pada kredonya, segera mengadili para pengemplang dana rakyat tersebut. Termasuk terhadap pak Amin (Prof Dr Amin Rais) yang secara kesatria mengaku menerima Rp 200 juta, presiden SBY dan Wapres JK, Hasyim Muzadi, Megawati dan beberapa anggota DPR/MPR. Pertanyaannya berani-kah KPK berhadapan dengan para elit pemegang kekuasaan tersebut ? Jawabannya sudah pasti, KPK tak berdaya !
Memang penegakan hukum terkait KKN yang melibatkan para elit bangsa ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Centang-perentang budaya korup warisan nenek moyang, mencengkram denyut nadi bangsa ini. Kompleksitasnya jejaring dan mata rantai KKN, mestinya disikapi oleh KPK dengan tidak hanya bergerak pada aspek legalitas hukum saja. Tetapi juga secara kultural maupun multikultural perlahan-lahan memutus akar budayanya.
Ide memasukkan kurikulum anti-korupsi dalam pendidikan tingkat SD-SMA yang digagas KPK belum lama ini, patut disikapi secara cerdas. Memang internalisasi nilai-nilai moralitas, sensibilitas sosial dan jagat tata nilai lainnya, efektiv melalui bangku pendidikan. Khususnya, pendidikan dasar (SD-SMP) dan menengah (SMA). Siswa SD-SMA tengah melalui tahapan-tahapan psikologis yang sangat dominan pada pembentukan karakternya. Fase tersebut dimulai dari periode kanak-kanak akhir (late childhood) hingga periode dewasa awal (early adulthood). Karakter fase psikologis tersebut; siswa menirukan segenap tata-nilai dan prilaku di sekitarnya, mulai masaknya organ-organ seksual, pengambilan pola prilaku dan nilai-nilai baru, idealis dan pemantapan identitas diri (Irwanto, 2002).
Jika dalam fase-fase perkembangan psikologis tersebut ditata secara apik struktur maupun bangun nilai anti KKN, maka akan menjadi dasar yang kuat dalam melandasi sikap, langkah dan gerak hidup mereka di masa mendatang.
Internalisasi kurikulum anti-korupsi, mesti merambah tiga aspek kecerdasan peserta didik. Yaitu aspek kecerdasan (kognitif), sikap (afektif) dan prilaku (psikomotorik). Internalisasi pada aspek kognitif diantaranya melalui pemberian berbagai informasi mengenai KKN, konsekuensi hukum dan dampak negatif terhadap kehidupan bangsa. Aspek afektif meliputi penumbuhan minat (interst), sikap (attitude), nilai (value) dan apresiasi (appreciation) anti-KKN dalam kehidupan. Sementara pada aspek psikomotorik, tertandai dengan siswa enggan melakukan KKN dalam bentuk kecil maupun besar (mencontek, manipulasi nilai dan sebagainya).
Selama ini, penanaman tata-nilai terfokus pada aspek kognitif semata. Konsekuensinya, pemahaman bahwa KKN itu buruk, jahat dan harus dihindari tidak mampu mencegah siswa melakukan manipulasi nilai, menjiplak waktu Ujian Nasional (UN) dan sebagainya. Setidaknya, terbongkarnya kecurangan UN 2007 menjadi sebagian penanda penanaman tata-nilai (baca; moralitas) baru di tingkat kognitif.
Format kurikulum anti-korupsi menurut hemat penulis tidak harus mewujud dalam satu mata pelajaran. Sebab, banyaknya mata pelajaran yang sudah ada cukup membebani aspek psiokologis siswa. Eksesnya, siswa menjadi tertekan, kurang ada ruang untuk aktualisasi diri serta menemukan makna kehidupan dalam pendidikan.
Kurikulum anti-korupsi cukup menjadi semacam hidden kurikulum atau kurikulum yang tersembunyi, di mana “term” KKN diselipkan dalam berbagai mata pelajaran. Guru selalu mengaitkan persoalan KKN dalam tema-tema pembelajaran, entah Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN), fisika, ekonomi, sejarah, agama dan sebagainya. Strategi pembelajaran hendaknya melibatkan peserta didik, ada media terkait KKN (gambar-gambar, foto, kliping dan sebagainya), ada praktik dilapangan dan keteladanan dari guru (Suyanto, 2000). Hasil yang diharapkan, siswa akan merasakan kebencian yang mendalam terhadap para koruptor sehingga pada saatnya mereka berkiprah, mereka secara tidak langsung ikut menjadi motor penggerak perang melawan korupsi.
Internalisasi kurikulum anti korupsi juga perlu melibatan tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat dan keluarga). Dalam masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan lainnya perlu senada menanamkan pemahaman bahwa KKN mesti dijauhi. Melalui forum-forum perbincangan ringan di warung kopi, angkringan, arisan, pengajian RT / RW dan sebagainya. Sementara dalam keluarga, perlu adanya keteladanan orang tua serta keadilan sikap dan prilaku terhadap putra-putrinya.
Internalisasi kurikulum anti-korupsi membutuhkan dukungan semua pihak. Khususnya Departemen Pendidikan sebagai motor kegiatan pendidikan di negeri ini. Selain itu, pemerintah SBY-JK mestinya lebih tegas mendukung langkah memberantas segala bentuk kejahatan KKN di negeri ini. Tak peduli apakah kasus kejahatan itu terjadi di lembaga BUMN, kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga lain. Pembenahan moralitas di lingkungan pejabat negara wajib hukumnya guna meminimalkan kasus korupsi di balik tubuh birokrasi.
Sudah saatnya korupsi sebagai kejahatan intelektual terbesar yang mengancam eksistensi masa depan Indonesia, diperangi dari sisi intelektual juga. Kita tak rela jika uang rakyat yang tak kurang dari Rp 7 triliun, dilahap begitu saja untuk kesenangan segelintir orang. Uang dan kesejahteraan milik negara mestinya dibagi rata atau digunakan untuk mensejahterakan 210 juta jiwa penduduk negeri ini.[]
*) Penulis adalah Peneliti pada Forum Kajian Politik dan Pendidikan (FKPP), Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Alamat Penulis; agus1982wb@yahoo.co.id, Telp : 085 292 569 057 Rekening : BRI Unit Mataram 3015-01-009577-53-3

Tidak ada komentar: